Metodologi Penelitian
MANAJEMEN PENGETAHUAN (KNOWLEDGE MANAGEMENT) DAN PROSES PENCIPTAAN
PENGETAHUAN
PENGERTIAN PENGETAHUAN
Davenport dan Prusak (1998)
membedakan pengertian antara data, informasi dan pengetahuan yaitu : “knowledge
is neither data nor information, though it related to both, and the differences
between these terms are often a matter of degree”.
1.Data is a set of discrete,objective facts about events. Seperti
yang dicontohkan oleh Davenport dan Prusak, bila seseorang pelanggan datang
untuk mengisi tanki mobilnya ke pompa bensin, maka transaksi yang terjadi dapat
digambarkan sebagian oleh data, yaitu berapa uang yang harus dibayarkan, berapa
liter bensin yang diisikan, namun tidak menjelaskan mengapa pelanggan itu
datang ke pompa bensin, kualitas pelayanan pompa bensin, dan tidak dapat
meramalkan kapan lagi pelanggan tersebut akan kembali ke pompa bensin. Dalam
organisasi, data terdapat dalam catatan-catatan (records) atau
transaksi-transaksi.
2. Information is data that
makes a difference. Kata inform sejatinya berarti to give shape atau untuk
memberi bentuk, dan informasi ditujukan untuk membentuk orang yang
mendapatkannya, yaitu untuk membuat agar pandangan atau wawasan orang tersebut
berbeda (dibandingkan sebelum memperoleh informasi). Sebagai contoh pelanggan
mengisi tanki mobilnya dengan bensin premix, bukan premium, pernyataaan tersebut
merupakan informasi. Menurut Peter Drucker, tidak seperti data, informasi
mempunyai makna (meaning) yang ditimbulkan oleh relevansi dan tujuan yang
diberikan oleh penciptanya. Misalnya pembei informasi menyampaikan bahwa
pelanggan mengisi tanki mobilnya dengan bensin premix, bukan premium,
mengandung tujuan tertentu yang dikaitkan dengan lawan bicara, atau mengandung
relevansi tertentu yang dikaitkan dengan lawan bicara, atau mengandung
relevansi tertentu yang dikaitkan dengan topik pembicaraan. Davenport dan
Prusak memberikan metode mengubah data menjadi informasi melalui kegiatan yang
dimulai dengan huruf C: contextualized, calculated, corrected, dan condensed.
Dalam organisasi, infomasi terdapat dalam pesan (messages).
3. Knowledge is a fluid mix
of framed experience, values, contextual information,and expert insight that
provides a framework for evaluating and incorporating new experiences and
information. It originates and is applied in the minds of knowers. In
organizations, it often becomes embedded not only in documents or repositories
but also in organizational routines, processes, practices, and norms.
Davenport dan Prusak memberikan
metode mengubah informasi menjadi pengetahuan melalui kegiatan yang dimulai
dengan huruf C: comparation, consequences, connections, dan conversation. Dalam
organisasi, pengetahuan diperoleh dari individu-individu atau kelompok
orang-orang yang mempunyai pengetahuan, atau kadang kala dalam rutinitas
organisasi. Pengetahuan diperoleh melalui media yang terstuktur seperti: buku
dan dokumen, hubungan orang-ke-orang yang berkisar dari pembicaraan ringan
hingga ilmiah.
Dalam buku yang ditulis oleh Von
Krogh, Ichiyo, serta Nonaka 2000,disampaikan ringkasan gagasan yang mendasari
pengertian mengenai pengetahuan:
1. pengetahuan merupakan justified true believe. Seorang individu
membenarkan (justifies) kebenaran atas kepercayaannya berdasarkan observasinya
mengenai dunia. Jadi bila seseorang menciptakan pengetahuan, ia menciptakan
pemahaman atas suatu suatu situasi baru dengan cara berpegang pada kepercayaan
yang telah dibenarkan. Dalam definisi ini, pengetahuan merupakan konstruksi
dari kenyataan, dibandingkan sesuatu yang benar secara abstrak. Penciptaan
pengetahuan tidak hanya merupakan kompilasi dari fakta-fakta, namun suatu
proses yang unik pada manusia yang sulit disederhanakan atau ditiru.
Penciptaaan pengetahuan melibatkan perasaan dan system kepercayaan (belief
systems) dimana perasaan atau system kepercayaan itu bisa tidak disadari.
2. pengetahuan merupakan sesuatu yang eksplisit sekaligus terbatinkan
(tacit). Beberapa pengetahuan dapat dituliskan di kertas, diformulasikan
dalam bentuk kalimat-kalimat, atau diekspresikan dalam bentuk gambar. Namun ada
pula pengetahuan yang terkait erat dengan perasaan, keterampilan dan bentuk
bahasa utuh, persepsi pribadi, pengalaman fisik, petunjuk praktis (rule of
thumb) dan institusi. Pengetahuan terbatinkan seperti itu sulit sekali
digambarkan kepada orang lain. Mengenali nilai dari pengetahuan terbatinkan dan
memahami bagaimana menggunakannya merupakan tantangan utama organisasi yang
ingin terus menciptakan pengetahuan.
3. penciptaan pengetahuan secara
efektif bergantung pada konteks yang memungkinkan terjadinya penciptaan tersebut.
Apa yang dimaksud dengan konteks yang memungkinkan terjadinya penciptaan
pengetahuan adalah ruang bersama yang dapat memicu hubungan-hubungan yang
muncul. Dalam konteks organisional, bisa berupa fisik, maya, mental atau
ketiganya. Pengetahuan bersifat dinamis, relasional dan berdasarkan tindakan
manusia, jadi pengetahuan berbeda dengan data dan informasi, bergantung pada
konteksnya.
4.
penciptaan pengetahuan melibatkan lima langkah utama, Von Krogh, Ichiyo
serta Nonaka (2000) bahwa penciptaan pengetahuan organisasional terdiri dari
lima langkah utama yaitu:
1.
berbagi pengetahuan terbatinkan;
2.
menciptakan konsep;
3.
membenarkan konsep;
4.
membangun prototype; dan
5.
melakukan penyebaran pengetahuan di berbagai
fungsi dan tingkat di organisasi.
KONTEKS DALAM ORGANISASI
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
Riset adalah bagian dari upaya akademik untuk
menemukan solusi ilmiah bagi persoalanpersoalan manusia atau proses penciptaan
pengetahuan baru. Di dalam kegiatan riset, terkandung sekaligus tiga aspek “
isi kognitif” dari limu pengetahuan, yakni foci of attention, tingkat
perkembangan, dan isi intelektual (Cole, 1992). Ketiga aspek tersebut tercermin
di kegiatan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dalam bentuk berbagai penelitian
yang memusatkan perhatian pada masalah tertentu.
Tingkat perkembangan dari
masing-masing bidang penelitian tentunya berbeda, antara lain ditentukan oleh
jumlah hasil penelitian, paten yang dihasilkan, publikasi ilmiah yang
dihasilkan baik tingkat nasional,regional dan internasional, produk-produk baru
atau proses baru dan sebagainya. Demikian pula, isi intelektual dari berbagai
penelitian di LIPI akan memperlihatkan batas dan keragaman dari kegiatan riset
lembaga ini.
Proses penelitian ditentukan oleh
isi intelektual, karakteristik sosial peneliti dan proses sosial dalam hal
intellectual authority. Dalam lingkup LIPI, misalnya sebuah penelitian dapat
terlaksana setelah ada proses tertentu dalam pemeriksaan tidak saja terhadap
isi penelitian itu, tetapi juga terhadap para penelitinya. Mengenai hal ini
Coles mengatakan bahwa proses ini sangat dipengaruhi oleh konsensus sosial, dan
bukan hanya oleh validitas keilmiahan isinya. Lebih luas lagi, proses
penelitian dan pengembangan suatu ilmu dan teknologi tidak dapat dilepaskan
dari kondisi tiga elemen dasarnya, yakni (1) komunitas ilmuwan dan teknologi
itu sendiri, (2) sistem ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan kondisi
sosial, politik, ekonomi dan budaya tempat ilmu dan teknologi itu berkembang,
serta (3) organisasi yang menjadi semacam katalis bagi komunitas untuk tumbuh
kembang di dalam sistem yang lebih luas ini, baik dalam bentuk organisasi besar
semacam LIPI, maupun yang lebih kecil seperti lembaga-lembaga riset,unit-unit
riset, organisasi profesi dan sebagainya (Constant II, 1993).
Kondisi LIPI sebagai elemen
organisasional yang memiliki karakteristik hubungan sosial tertentu, dengan
demikian, merupakan salah satu titik kunci perkembangan penelitian. Khususnya
untuk LIPI, maka kondisi ini merupakan salah satu aspek yang ditumbuh
kembangkan, termasuk dalam upaya menciptakan kondisi yang mendukung penelitian
ini, adalah pengembangan sarana fisik, peralatan laboratorium, peralatan
teknologi informasi, dan sebagainya. Di dalam konfigurasi yang demikian,
dimungkinkan pengembangan manajemen pengetahuan (knowledge management) KM
dilingkungan LIPI dalam bentuk :
•
proses mengkoleksi, mengorganisasikan,
mengklasifikasi,dan menyebarkan informasi/pengetahuan ke seluruh unit di
organisasi agar informasi/pengetahuan itu berguna bagi siapa yang
memerlukannya;
•
kebijakan, prosedur dan teknologi yang dipakai untuk
mengoperasikan pangkalan data yang terhubungkan dalam jaringan intranet LIPI
agar tetap uptodate;
•
menggunakan teknologi informasi untuk menangkap
pengetahuan yang terdapat didalam pikiran para peneliti, pegawai sehingga
pengetahuan itu bisa secara mudah dipakai bersama di dalam organisasi. KM
bertujuan mengumpulkan pengetahuan yang benar-benar diperlukan oleh peneliti
atau pegawai di dalam sebuah tempat penyimpanan terpusat (server besar), dan
membuang informasi atau pengetahuan yang tidak perlu;
•
memastikan adanya lingkungan yang lengkap untuk
pengembangan penggunaan expert systems;
•
mengorganisasikan dan menganalisis informasi
dalam database lembaga sehingga pengetahuan dari hasil analisis tersebut dapat
segera dipakai bersama oleh lembaga;
•
mengidentifikasi kategori pengetahuan yang
diperlukan untuk mendukung keseluruhan program penelitian, sinergi
program/kegiatan penelitian, strategi penelitian, monitoring dan evaluasi hasil
penelitian yang terhimpun di lembaga, dan mentransformasi basis pengetahuan
yang saat ini ada ke basis yang baru yang lebih mapan dengan mengisi knowledge
gaps mungkin terjadi atau digital devide;
•
mengkombinasikan pengindeksan, pencarian
pengetahuan dan teknologi informasi untuk membantu lembaga mengorganisasi data,
informasi dan pengetahuan yang tersimpan di berbagai sumber, sehingga yang
disajikan adalah informasi atau pengetahuan yang relevan saja;
•
mengorganisasikan dan menyediakan know-how
yang penting, kapan dan bilamana diperlukan. Ini mencakup proses, prosedur,
paten, bahan rujukan, formula, best practices, ramalan dan cara-cara mengatasi
masalah. Secara teknologis, intranet, groupware, data warehouses, bulletin
boards, dan sebagainya adalah sarana yang memungkinkan lembaga menyimpan dan
menyebarkan pengetahuan;
•
memetakan sumber pengetahuan (knowledge mapping)
baik secara online maupun offline, pelatihan, penuntunan, dan perlengkapan
untuk akses pengetahuan.
Pengembangan
infrastruktur informatika dan telekomunikasi (telematika) seperti diatas
mengandung keyakinan terhadap potensi teknologi informasi untuk mendukung
komunikasi ilmiah (scientific communication). Infratruktur ini diharapkan untuk
menciptakan pola baru yang lebih efektif – efisien terutama dalam hal
tukar-menukar informasi atau pengetahuan dalam memecahkan masalah dalam suatu
penelitian, penyimpanan dan penemuan kembali (storage and retrieval) informasi
atau pengetahuan ilmiah. Sebagai kesatuan penelitian (penelitian terpadu),
teknologi informasi (intranet) yang ada di LIPI memungkinkan pengembangan
jaringan kerja yang dapat mempelancar pengorganisasian kegiatan penelitian
terpadu. Potensi ini beringgungan dengan konteks organisasional sehingga
infrastuktur telematika tidak dapat disebut sebagai alat (tools) saja,
melainkan adalah sebuah “socio-technical networks”, sehingga pengembangan
infrastuktur ini merupakan pengembangan social informatics (Kling,2000).
Pengembangan
sistem KM-LIPI, dengan demikian,bukan semata pemasangan jaringan fisik
infrastruktur, melainkan pengembangan sebuah jaringan sosio-teknis yang secara
spefisik diarahkan bagi pengembangan sebuah lembaga riset. Kegiatan penelitian
di LIPI umumnya ,dan di penelitian Coastal Hinterland Interaction Programme
(CHIP) khususnya, adalah kesatuan informatika-sosial. Di dalam kesatuan ini,
terdapat elemen teknologi telematika maupun proses sosial yang mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh foci of attention, pertumbuhan kegiatan, maupun kandungan
intelektual dari penelitianpenelitian tentang sistem CHIP yang menyangkut
berbagai disiplin ilmu (multi disiplin) untuk memecahkan suatu persoalan atau
suatu solusi dari suatu permasalahan.
DASAR PEMIKIRAN: STRATEGI MENGELOLA
PENGETAHUAN
Hansen, Nohria
dan Tierney (1999) mengemukakan pada dasarnya bagaimana strategi organisasi
mengelola pengetahuan terbagi atas dua ekstrim : strategi kodifikasi (
codification strategy) dan strategi personalisasi (personalization strategy).
Bila pengetahuan diterjemahkan dalam bentuk eksplisit secara berhati-hati
(codified) dan disimpan dalam basis data sehingga para pencari pengetahuan yang
membutuhkannya dapat mengakses pengetahuan tersebut, maka cara mengelola
seperti ini dikatakan menganut strategi kodifikasi. Namun pengetahuan tidak
terdiri dari hanya eksplisit saja, melainkan juga pengetahuan terbatinkan.
Pengetahuan terbatinkan amat sangat sulit diterjemahkan ke dalam bentuk eksplisit.
Oleh sebab itu pengetahuan-pengetahuan dialihkan dari satu pihak ke pihak lain
melalui hubungan personal yang intensif, jadi disini fungsi utama jaringan
komputer (intranet atau internet) disini bukan saja untuk menyimpan pengetahuan
melainkan juga untuk memfasilitasi lalu lintas atau komunikasi di antara
individu atau peneliti dalam organisasi yang sedang melakukan kegiatan
penelitian baik mencari informasi atau memanfaatkan pengetahuan-pengetahuan
baru untuk menunjang kegiatan penelitiannya.
Peran perpustakaan,dokumentasi informasi
Berdasarkan
dasar pemikiran diatas, ditambah dengan hasil studi dari Szulanski (1996) yang
mendiskusikan mengenai permasalahan dalam proses pengalihan pengetahuan dari
orang/kelompok ke orang/kelompok lain, serta pengamatan empiris dari peran
perpustakaan, pusat informasi atau pusat dokumentasi dalam proses penciptaan
pengetahuan, maka dapat disampaikan sebagai berikut:
1. Akses pada informasi. Diketahui bahwa
kemampuan penciptaan pengetahuan organisisaional bergantung pada kemampuan
semua individu dalam organisasi untuk dapat akses pada gagasan, informasi, dan
pengalaman karyawan lain atau pihak lain diluar organisasi Î pada aspek ini ada
dua peran perpustakaan,dokumentasi dan informasi, yaitu :1. peningkatan akses
melalui penelusuran berbagai informasi dan pengetahuan dari berbagai sumber dan
secara proaktif, berdasarkan analisis historis permintaan para pengguna,
menyampaikan informasi dan pengalaman tersebut pada pengguna.
2.peningkatan akses melalui pemberian saran alternatif
cara memperoleh dan ben- tuk informasi serta pengalaman yang dibutuhkan pengguna.
2. Refleksi atas tindakan masa lalu .
Seperti kita ketahui bersama bahwa kemampuan penciptaan pengetahuan organisasi
juga bergantung pada evaluasi pengalaman masa lalu oleh karyawan, yang
menyebabkan peningkatan pemahamannya atas bagaimana suatu kejadian dan akibat
pengalaman masa lalu bermanfaat pada masa kini Î pada aspek ini peran nya
adalah meningkatkan kemungkinan untuk terjadinya refleksi melalui pemberian
induksi berupa informasi dan pengalaman pihak lain pada pengguna/peneliti
internal untuk digunakan dalam proses menggugat dan merekonstruksi perspektif,
keputusan, dan pengalaman selama ini.
3. Kemampuan menyerap. Diketahui bahwa
kemampuan mengasimilasikan pengetahuan baru bergantung pada kenyataan apakah
individu-individu telah memiliki pengetahuan yang berkaitan dengan pengetahuan
yang baru diterima sehingga memungkinkan mereka untuk memahami dan menyerap
informasi baru yang dipindahkan pada mereka Î peran perpustakaan adalah
meningkatkan kemampuan penyerapan pengetahuan melalui secara proaktif
memberikan informasi dan pengalaman orang lain yang relevan dengan bidang
kompetensi yang sedang didalami oleh pengguna/peneliti saat ini.
4. Kemampuan belajar. Rekombinasi
produktif yang terjadi di organisasi bergantung pada kemampuan karyawan belajar
dari perubahan-perubahan dan pengetahuan yang telah dikembangkan oleh karyawan
dalam organisasi. Bila karyawan terus menerus belajar dan selalu mengikuti
perubahan-perubahan teknologi atau pengetahuan Î pada aspek ini adalah
meningkatkan kemampuan belajar individu-individu melalui pemberian informasi
dan pengalaman pihak lain yang terkini (up to date) atau (current information)
pada para pengguna.
5. Persepsi bahwa kegiatan pertukaran dan
kombinasi pengetahuan adalah berharga. Tidak semua peneliti atau karyawan
aktif mencari informasi, bahkan informasi yang telah tersediapun belum tentu
dibaca, maka bila peneliti atau karyawan menggunakan informasi yang dapat
diakses, maka karyawan/peneliti harus percaya bahwa sesuatu yang berharga akan
dihasilkan dari upayanya mengkombinasikan dan mempertukarkan pengetahuan Î pada
aspek ini meningkatkan motivasi para pengguna untuk memanfaatkan seluruh
fasilitas perpustakaan yang ada dan menunjukkan bahwa pemanfaatan jasa
perpustakaan akan meningkatkan kualitas dan kelancaran kerja para pengguna.
Seperti telah dikatakan oleh
Prusak Î perpustakaan, pusat dokumentasi tidak akan dapat menjalankan perannya
tersebut bila tidak dikelola oleh pustakawan yang secara proaktif mendukung
terselenggaranya strategi organisasi melalui pemahamannya atas kompetensi inti
dan strategi organisasi, serta infomasi dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk
memperkokoh kompetensi inti organisasi dan terselenggaranya strategi
organisasi.
MANAJEMEN PENGETAHUAN
(KNOWLEDGE MANAGEMENT) yang DINAMIS
Merebaknya fenomena manajemen
pengetahuan merupakan kritik langsung kesalah pahaman karena ‘pengetahuan”
tidak diartikan sebagai benda mati, sebagaimana kalimat berikut ini tentang
“pengetahuan”:
“ the potentiality of values as
it exists in various components or flows of overall “capi- tal” in a firm, the
relationships and synergistic modulations that can augment the va- lue of that
capital, and the application of its potential to real business tasks…(it) in –
cludes an organization’s unrefined knowledge assets as well as wealth
generating assets whose main component is knowledge”
(Society of Management
Accountants of Canada,1999).
Potensi nilai yang ada pada
berbagi komponen atau proses (aliran) keseluruhan “modal” dalam sebuah
perusahaan, antar hubungan dan penyesuian-penyesuian sinergis yang bisa
meningkatkan nilai modal tersebut, dan penerapan potensi tersebut pada
tugas-tugas bisnis yang sesungguhnya… (ini) mencakup pula modal pengetahuan
organisasi yang belum diolah, dan modal yang mendatangkan keuntungan dan yang
komponen utamanya adalah pengetahuan.
Definisi di atas mengandung
aktifitas dan dinamika serta penerapan pengetahuan kepada tugas-tugas yang
sesungguhnya, bukan sesuatu yang diam. Beberapa penulis, misalnya Malhotra
(2000) mengingatkan bahwa dinamika penerapan pengetahuan saat ini merupakan
konsekuensi logis dari kehidupan organisasi yang harus selalu menyiapkan respon
terhadap lingkungan yang bercirikan dua hal yaitu:
•
Kerumitan atau kompleksitas, disebabkan oleh
peningkatan jumlah, keragaman dan saling ketergantungan antara berbagai entitas
di dalam lingkungan sebuah organisasi.
•
Gejolak lingkungan atau turbulensi, ditentukan
oleh semakin cepatnya siklus ( cycle-time) dari setiap kejadian atau peristiwa.
Kompleksitas
dan gejolak lingkungan, serta tingkat pertumbuhan absolut keduanya, akan sangat
meningkat dimasa mendatang. Dalam keadaan seperti ini, menurut Malhotra, banyak
organisasi memiliki sistem informasi yang pada umumnya memakai model manajemen
informasi untuk keperluan :
•
mengupayakan agar pangkalan data pengetahuan dan
para pemiliknya secara terus menerus disesuaikan dengan perubahan lingkungan
eksternal.
•
memberitahu para pegawai atau anggota
organisasi tentang perubahan-perubahan terakhir, baik dalam produk maupun
prosedur untuk menghasilkan sebuah produk.
Namun, didalam
lingkungan yang kompleks dan bergejolak ada beberapa persoalan yang muncul dari
model seperti ini, yaitu:
•
manajer mampu mengendalikan kegiatan organisasi
kalau ia memiliki pengetahuan, tetapi dalam lingkungan yang serba bergejolak
dan perubahannya berita tidak sinambung (discontinuous), maka seringkali
manajer maupun organisasi tempatnya bekerja tidak punya pengetahuan yang
memadai. Sistem informasi cenderung menyimpan pengetahuan yang tidak selalu
sesuai dengan perubahan dilingkungan eksternal.
•
Dalam lingkungan yang bergejolak, lebih baik
jika organisasi menyebarkan pengetahuan dan otoritas secara lebih merata. Model
manjemen informasi justru cenderung memusatkan pengetahuan di sebuah pangkalan
data yang cenderung statis pula.
•
Di masa yang penuh persaingan dan gejolak,
diperlukan kemampuan mengantisipasi masa depan yang didasarkan kepada multi
interpretasi, sementara sistem informasi cenderung mendukung kegiatan kemampuan
menduga berdasarkan satu interpretasi tentang bagaimana mengantisipasi masalah.
Pada artikel
Malhotra itu semata-mata menegaskan perlunya profesi informasi menghadapi tugas
yang dinamik, kompleks dan bergejolak, bukan sesuatu yang sudah selesai, dan
terlebih-lebih bukan “menyimpan” atau “mengelola simpanan”. Cara kita
mengartikan “mengelola informasi” memerlukan perubahan fundamental agar sejalan
dengan perubahan fundamental dalam kehidupan berorganisasi, terutama dalam cara
organisasi menyesuaikan dirinya dengan lingkungan.
Pemikiran
tentang perubahan fundamental dalam cara berorganisasi telah melahirkan
pemikiran tentang manajemen perubahan. Menurut Worren,Ruddle dan Moore (1999)
istilah manajemen perubahan (change management) saat ini dipakai untuk mencakup
teori dan praktek yang berhubungan dengan pengembangan organisasi
(organizational development), sumber daya manusia, majemen proyek (project
management), dan perubahan strategi organisasi.
Manajemen
perubahan menjadi upaya perubahan organisasional yang lebih besar, bersama
dengan komponen lain, yaitu pengembangan strategi, penyempurnaan proses bisnis,
dan penerapan teknologi. Tujuan utamanya seringkali adalah mengintegrasikan
komponen-komponen ini, misalnya dengan menciptakan kesetaraan antara penetapan
tujuan-tujuan strategis dengan kebijakan SDM, atau membangun infrastuktur
teknologi informasi baru untuk mendukung terciptanya kerjasama antar kelompok.
Manajemen peubahan sebenarnya juga merupakan penerapan teori yang menyatakan
bahwa berpindah dari kondisi lama ke kondisi baru yang sesuai dengan masa depan
memerlukan perubahan komprehensif dalam berbagai komponen, termasuk perilaku,
kultur, struktur organisasi, proses kerja dan infrastuktur teknologi informasi.
Prinsip
pengembangan organisasi sebelumnya memusatkan perhatian kepada keterampilan dan
sikap individual, kurang memperhatikan peran struktur dan sistem. Dalam
pandangan klasik, organisasi yang ingin berubah harus mengupayakan perubahan
dalam sikap dan pandangan orang sebelum mengubah struktur organisasi atau
teknologi yang digunakan sebuah organisasi. Dengan kata lain, pertama-tama
harus ada perubahan dalam perilaku pegawai, sebelum sikap, norma dan
keterampilan terbentuk secara sempurna, lalu perubahan dalam struktur formal
dan sistem dapat berlangsung sebuah komitmen dan kompetensi berkembang melalui
keterlibatan semua anggota organisasi dalam proses perubahan.
Jadi
organisasi- organisasi modern saat ini diingatkan kembali tentang perlunya
perhatian kepada apa yang selama ini dikenal sebagai “modal sosial” yaitu:
•
Jaringan hubungan pribadi antar lintas, yang
berkembang perlahan-lahan sebagai landasan bagi saling percaya, kerjasama, dan
tindakan kolektif dari sebuah komunitas;
•
Merupakan jaringan saling mengenal dan saling
menghargai;
•
Mengandung kewajiban pada diri anggota yang
timbul karena rasa terima kasih, respek, dan persahabatan, atau adanya hak yang
dijamin secara institusional;
•
Anggota jaringan memiliki akses ke informasi dan
kesempatan;
•
Status sosial atau reputasi sosial bagi anggota
jaringan, terutama kalau keanggotaannya terbatas.
Social Capital
dengan demikian adalah keseluruhan sumberdaya aktual maupun potensial yang
tertanam di dalam, tersedia melalui, diambil dari, jaringan hubungan yang
dimiliki oleh seseorang atau sebuah unit sosial. SC dengan demikian terdiri
dari jaringan maupun asset yang bisa dimobilisasi melalui jaringan tersebut.
Model Skandia
juga memberikan penekanan kepada pentingnya “human capital” dalam konteks
organisasi atau komunitas, istilah ini bisa dipakai dalam pengertiannya sebagai
“intellectual capital” yang mengacu kepada pengetahuan dan kemampuan mengetahui
(knowing capability) dari sebuah kolektifitas sosial, misalnya organisasi,
komunitas intelektual, atau praktisi professional. IC ini pararel dengan konsep
HC yang meliputi pengetahuan, keterampilan, dan kapabilitas yang memungkinkan
seseorang bertindak dengan cara yang baru. IC dengan demikian, merupakan sebuah
sumberdaya penting dan sebuah kapabilitas untuk bertindak berdasarkan pengetahuan
dan kemampuan mengetahui.
Dari sisi
pandang yang lebih kritis lagi, Birkinsaw (2001) bahkan mengidentifikasi 3 hal
dalam manajemen pengetahuan yang merupakan “kegiatan lama dalam bungkus baru”
yaitu:
•
Pengelolaan pengetahuan sudah berlangsung sejak
awal berdirinya sebuah organisasi. Cara sebuah organisasi menentukan struktur
dan hirarki anggota sudah merupakan upaya mengelola pengetahuan dan menempatkan
orang-orang yang berpengetahuan sama di satu tempat. Kelompok-kelompok informal
sudah sejak lama ada di berbagai organisasi, dan menjadi tempat bagi petukaran
informasi dan pengetahuan yang efektif, persoalannya sekarang adalah
mengidentifikasi hal-hal tersebut dan membuatnya lebih efektif lagi.
•
Manajemen pengetahuan merupakan proses panjang
dan lama, yang mencakup perubahan perilaku semua anggota sebuah organisasi.
Upaya mengubah peilaku ini bukanlah kegiatan masa kini saja, persoalannya
sekarang adalah mensinkronkan upaya perubahan ini dengan keseluruhan strategi
pelaksanaan organisasi.
•
Beberapa teknik manajemen pengetahuan sudah
dilakukan sejak dulu, misalnya pengaktifan komunitas praktisi sudah sejak lama
menjadi perhatian dari hubungan masyarakat internal (internal public
relations), dan pangkalan data pengetahuan memperlihatkan cirri-ciri yang sama
dengan pangkalan data dalam sebuah sistem informasi, persoalannya sekarang
adalah bagaimana teknik-teknik manajemen pengetahuan ini yang mirip dengan
teknik-teknik “tradisional” terus relevan dengan perubahan organisasi.
Selain tiga hal
diatas, Birkinsaw juga menggarisbawahi tiga kenyataan yang sangat mempengaruhi
berhasil-tidaknya manajemen pengetahuan. Pertama, penerapannya tidak hanya
menghasilkan pengetahuan baru tetapi juga mendaur-ulang pengetahuan yang sudah
ada. Kedua, teknologi informasi belum sepenuhnya bisa menggantikan fungsifungsi
jaringan sosial antar anggota organisasi. Ketiga, sebagian besar organisasi
tidak pernah tahu apa yang sesungguhnya mereka ketahui, banyak pengetahuan
penting yang harus ditemukan lewat upaya-upaya khusus, padahal pengetahuan itu
sudah dimiliki sebuah organisasi sejak lama.
PENUTUP
Proses
penciptaaan pengetahuan dalam era inovasi, adalah kemampuan organisasi untuk
menciptakan pengetahuan merupakan hal yang sangat mendasar, namun diketahui
bahwa penciptaaan pengetahuan terjadi dalam benak individu-individu (manusia)
yang berada di organisasi. Tanpa individu-individu tersebut, organisasi tak
mampu menciptakan pengetahuan yang dibutuhkannya untuk melakukan berbagai
inovasi (dalam berbagai penelitian konseptual maupun empiris). Proses
penciptaaan pengetahuan yang mulai dari akses informasi dan pengalaman,
refleksi individu-individu atas tindakan di masa lalu, kemampuan menyerap
pengetahuan, motivasi individu untuk belajar-persepsi atas kebernilaian
aktivitas yang menuju terciptanya pengetahuan baru tersebut. Persoalan
lain,adalah bagaimana mengelola pengetahuan yang cukup rumit dan kompleks,
serta dalam gejolak lingkungan dan semakin cepatnya siklus kejadian atau
peristiwa bukan merupakan pekerjaan yang mudah dan penuh dengan berbagai
tantangan dan hambatan dalam upaya mengelola pengetahuan Î menjadi pengetahuan
baru. Di organisasiorganisasi modern saat ini, pandangan tentang manajemen
perubahan ini bersinggungan pula dengan cara mereka memberlakukan pengetahuan
sebagai modal intelektual. Manajemen perubahan mencakup prinsip, alat analisis,
teknologi informasi, teori perubahan strategis, pengingkatan fungsi individu,
sistem, struktur dan proses kerja yang didahului dengan disain organisasi,
perbaikan kinerja pegawai, hubungan antar kelompok/bagian dalam suatu
organisasi,dst.
“Model Skandia”
menggambarkan pengetahuan sebagai berikut: Market Value = Financial Capital +
Intellectual Capital Intellectual Capital= Human Capital+ Structural Capital
Human Capital:
pengetahuan, keterampilan, kemampuan melahirkan inovasi, dan kemampuan anggota
organisasi melakukan tugasnya, termasuk didalamnya nilai, kultur, dan filosofi.
Juga termasuk pengetahuan, kebijakan (wisdom), keahlian, intuisi, dan kemampuan
perorangan untuk mewujudkan tugas dan tujuan; merupakan milik perorangan dan
tidak bisa dimiliki oleh organisasi.
Daftar Pustaka
Abell, Angela
dan Nigel Oxbrow (2001), Competing with Knowledge: The Information Professional
in the Knowledge Management Age, London: Library Association Publi- cation.
Birkinsaw,
Julian (2001). “Making Sense of Knowledge Management”, dalam IVEY Business
Journal, March/April, pp:32-36.
Contant II,
Edward W. (1993), “ The Social Locus of technological Practice : Community
System, or Organization” dalam The Social Constraction of Technological System,
ed: Wiebe E.Bijker, Thomas P.Hughes, Trevor Pinch, Cambridge,Mass : the MIT
Press.
Cole, Stephen
(1992). Making Science: Between Nature and Society, Cambridge, Mass.: Harvard
University PrDavenport, Thomas H & Prusak, L (1998) . Working Knowledge :
How Organizations Manage What They Know. Boston: Harvard Business School Pressess.
Garvin, David
(2000). Learning in Action: A Guide to Putting the Learning Organization to
Work.Boston: Harvard Business School Press.
Janszen,
Felix.(2000). The Age of Innovation: Making Business Creativity a Competence
Not a Coincidence. London: Pearson Education Limited.
Kling, Rob
(1998). “Organizational Analysis in Computer Science” dalam International
Perspectives on Information Systems: a Social and Organisational Dimension,
edited by Savvas Katsikides and Graham Orang. Sydney: Ashgate pp.43-66.
Kling,Rob
(2000), “Learning about Information technology and social change : the
Contribution of Social Informatics”. The Information Society, Vol.16
no.3,pp.217 -232.
Malhotra,
Yogesh (2000), “ From Information Management to Knowledge Management: Beyond
the `Hi-Tech Hidebound` Systems” dalam K. Srinantaiah dan MED Koenig (ed.),
Knowledge Management for the Information Professional, Medford, NJ: Infor-
mation Today Inc,pp 37-61.
Ningky Munir
(2001). Proses Penciptaan Pengetahuan di Perusahaan Jakarta: Seminar Ikatan
Pustakawan Indonesia, 14 hal
Nonaka, Ikujiro
& Takeuchi, Hirotaka (1995). The Knowledge-Creating Company : How Japanese
Companies Create the Dynamics of Innovation. Oxford: Oxford University Press.
Pendit, Putu
Laxman (2001). The Use of Information Technology in Public Information
Services: an Interpretative Study of Structural Change via Technology in the
Indonesian Civil Service, Doctoral Thesis,RMIT University, Melbourne
–Australia.
Pendit, Putu
Laxman (2001). Manajemen Pengetahuan dan Kompetensi Profesional Informasi.
Jakarta : Seminar IMPI., 21 hal.
Spencer,
J-C.(1996), “ Making Knowledge the Basis of a Dynamic Theory of the Firm” Dalam
Management Learning, 25,pp 387-412.
Tuomi, Ilkka
(2000). “Data is more than Knowledge: Implications of the reversed Knowledge
hierarchy for Knowledge Management and Organizational Memory”, dalam Journal of
Management Information Systems,vol.16,no.3,pp.103-117.
Worren, Necolay
A, Keith Ruddle and Karl Moore (1999), “ From Organizational Development to
Change ManagemenYoffie, David B (ed).(1997). Competing in the Age of Digital
Convergence. Massachussets: Havard Business School Press. t” dalam The Journal
of Applied Bahavioral Science, vol.35, no.3,pp 273-286.
Komentar
Posting Komentar